SELAMAT DATANG DI WWW.JURAGANCASINO.COM !!! SITUS BETTING CASINO ONLINE TERPERCAYA YANG MENYEDIAKAN PELAYANAN TERBAIK !!! | 1 USER ID BISA UNTUK MEMAINKAN SEMUA PERMAINAN CASINO DAN SABUNG AYAM | Berikut Jadwal BANK OFFLINE : BCA ( Senin - Jumat : 21.00 - 00.30 WIB, Sabtu : 00.00 - 04.00, Minggu : 24 Jam ) BRI ( 22.10 - 05.00 WIB ) Mandiri ( 23.00 - 03.00 WIB ) BNI ( Online 24 Jam ) Danamon ( Online 24 JAM )

Header Ads

JURAGAN CASINO

5 Fakta Stockholm Syndrome yang Harus Kamu Tahu


Juragan Casino Dalam beberapa film kita sering menemukan tentang kisah romansa antara si penculik dengan korbannya, atau korban penculikan yang tiba-tiba merasa simpati lalu jatuh cinta dengan orang yang menjahatinya. Fenomena ini disebut sebagai Stockholm Syndrome. Sindrom ini juga disebut capture bonding dimana korban penculikan biasanya terisolasi dari dunia luar dan hanya menghabiskan waktu dengan penculiknya. Kondisi tersebut berdampak kepada psikologi korban dan membuatnya mentoleransi hal-hal buruk yang dilakukan sang penculik kepadanya, tetapi sang korban justru memiliki perasaan simpati terhadap sang penculik.

Stockholm Syndrome bisa dibilang merupakan fenomena psikologi yang jarang. FBI mencatat dari banyaknya kasus penculikan, hanya 8% saja yang mengindikasikan gejala Stockholm Syndrome. Banyak juga ahli psikologi yang menganggap fenomena sindrom ini sebagai satu bentuk kesalahan dari upaya survival para korban penculikan.

Sebenarnya apa sih Stockholm Syndrome itu dan mengapa seseorang bisa sampai mengalaminya?

1. Asal Usul Nama Stockholm Syndrome



Nama Stockholm Syndrome diambil dari salah satu kejadian perampokan bank Sveriges Kreditbanken yang terjadi di kota Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Sang pelaku perampokan bernama Jan-Erik Olsson merupakan narapidana dan menyandera 4 pegawai bank di dalam salah satu ruangan brankas utama bank. Olsson menyandera keempat pegawai tersebut selama 6 hari dari tanggal 23 Agustus hingga 28 Agustus 1973.

Selama jangka waktu 6 hari tersebut, polisi kota Stockholm mencoba bernegosiasi dengan Olsson dan sang pelaku perampokan meminta rekan satu penjaranya, yakni Clark Olofsson untuk bisa bergabung dengannya, jika hal tersebut dikabulkan maka ia akan mempertimbangkan untuk melepas keempat sandera.

Polisi kota lantas mengabulkan permintaan Olsson dengan mebebaskan Olofsson dan membiarkannya bergabung dengan Olsson. Tetapi selama 6 hari penyekapan dan negosiasi, 4 korban penyekapan bank ternyata menunjukkan perilaku yang aneh. Mereka justru mendukung motivasi Olsson dan meminta sang penjahat untuk tidak menyerah kepada polisi. Mereka justru lebih takut kepada pihak keamanan dibandingkan Olsson dan Olofsson yang selama 6 hari menyekap mereka.

Sementara pihak polisi terus memikirkan upaya agar dapat membebaskan keempat sandera, mereka akhirnya dapat menjebol brankas utama tempat Olsson menyekap keempat korban. Polisi pun langsung melancarkan serangan gas airmata kepada 2 pelaku perampokan. Seorang krimolog sekaligus psikiatri yang membantu polisi dalam kejadian tersebut, Nils Bejerot, lantas dengan cepat menyadari ikatan emosional antara keempat korban terhadap Olsson segera setelah keempatnya dievakuasi dari bank. Keempat korban bahkan menolak untuk bersaksi atau menjatuhkan dakwaan kepada kedua pelaku.

Nils Bejerot menganggap apa yang keempat pegawai bank tersebut lakukan merupakan salah satu reaksi psikologi mereka selama 6 hari penyekapan. 4 korban yang disekap di dalam ruangan brankas kecil menyadari bahwa mereka tidak bisa kabur, ditambah dengan fakta bahwa Olsson terus menerus menodongkan senjata api ke arah mereka membuat keempat korban beradaptasi dengan ancaman yang dilayangkan oleh Olsson. Kondisi psikologi ini kemudian sampai kepada titik dimana korban justru memiliki keyakinan bahwa pelaku menjadi tidak berbahaya (harmless).

2. Gejala Stockholm Syndrome



Dalam jurnal yang ditulis oleh Elizabeth L. Sampson dan Nicola Tufton berjudul “Stockholm Syndrome: Psychiatric Diagnosis or Urban Myth” terdapat beberapa hal yang bisa diidentifikasi dari para penderita Stockholm Syndrome, diantaranya:
Berkembangnya perasaan positif terhadap penculik, penyandera, atau pelaku kekerasan.
Berkembangnya perasaan negatif terhadap keluarga, kerabat, pihak keamanan, atau masyarakat yang berusaha untuk membebaskan atau menyelamatkan korban dari pelaku.
Memperlihatkan dukungan dan persetujuan terhadap kata-kata, tindakan, dan nilai-nilai yang diutarakan oleh sang penculik, penyandera atau pelaku kekerasan.
Ada perasaan positif yang muncul atau disampaikan oleh pelaku terhadap korban.
Korban secara sukarela membantu pelaku, bahkan untuk melakukan tindak kejahatan.
Tidak mau berpartisipasi maupun terlibat dalam usaha pembebasan atau penyelamatan korban dari pelaku.

3. Penyebab Seseorang Bisa Menderita Stockholm Syndrome



Dalam keadaan yang bersifat traumatis seperti penculikan, korban tentu akan mengalami tindakan kekerasan; baik fisik, seksual, dan/atau verbal yang akan membuatnya sulit untuk berpikir dengan jernih. Di satu sisi menurut sang penculik, kabur bukanlah suatu pilihan bagi korbannya karena ia pasti akan mati bila melakukannya. Penculik juga mengancam akan membunuh keluarganya bila ia berusaha untuk kabur. Jadi, satu-satunya jalan untuk bertahan hidup adalah dengan mematuhi penculiknya tersebut.

Kemudian seiring berjalannya waktu, kepatuhan mungkin bukanlah satu-satunya hal yang diinginkan oleh si penculik. Hal ini dikarenakan sang penculik juga merasa stress dan perubahan mood sang penculik ini tentunya akan membawa pengaruh buruk bagi korbannya. Jadi, menemukan berbagai hal yang dapat memicu kemarahan sang penculik juga merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup. Dengan demikian, korban pun mulai mengetahui seperti apa sifat sang penculik.

Suatu kebaikan kecil yang dilakukan oleh sang penculik, termasuk dengan tidak membunuh korbannya, akan membuat sang penculik tampak seperti seorang pahlawan yang sangat baik bagi sang korban. Pada situasi traumatis dan mengancam nyawa, satu kebaikan kecil atau tidak adanya lagi tindakan kekerasan, akan tampak seperti suatu tanda persahabatan dan korban pun biasanya akan sangat bergantung pada hal tersebut demi bertahan hidup.

Sang penculik pun lama-kelamaan tidak lagi terlihat menakutkan, melainkan seperti sebuah alat untuk bertahan hidup dan melindungi diri dari bahaya. Sang korban pun akhirnya akan mengalami suatu delusi atau pemahaman palsu (untuk mengurangi stress psikologis dan fisik yang ia alami), di mana ia benar-benar mengira bahwa sang penculik adalah temannya, bahwa ia tidak akan membunuhnya, dan bahkan mereka dapat saling membantu untuk dapat keluar dari kekacauan yang telah terjadi.

Jadi, orang-orang lain yang berusaha untuk menyelamatkan korban justru dirasa bukanlah temannya. Sang korban merasa bahwa orang lain tersebut justru akan melukai sang penculik, sehingga mereka justru melindungi orang yang telah menculiknya tersebut.

4. Kasus-Kasus Terkenal Penderita Stockholm Syndrome



Dilansir thought.co pada 4 Februari 1974, Patty Hearst, ahli waris dari seorang milyuner Amerika Serikat, diculik dan disekap selama dua bulan oleh kelompok pemberontak Symbionese Liberation Army (SLA). Grup yang menculik Patty Hearst ini meminta sejumlah nominal dan persyaratan lain kepada keluarga Patty Hearst dan pemerintah, namun keluarga Hearst menolak untuk melakukan negosiasi. Tidak disangka pada 3 April 1974, sebuah rekaman dari SLA menampilkan satu sosok anggota militan wanita, bernama Tania. Wanita tersebut ternyata adalah Patty Hearst yang memutuskan untuk bergabung dengan SLA dan mengganti namanya pasca mengetahui bahwa keluarganya menolak untuk bernegosiasi dengan kelompok pemberontak, dan ia justru memiliki ikatan emosional dengan leader dari SLA. Patty Hearst juga mengatakan dalam rekaman yang ditujukan kepada keluarga itu, bahwa kini ia merasa bebas dan lebih kuat dibandingkan dulu ketika dirinya masih menjadi ahli waris dari seorang milyuner.

Sementara kasus terkenal lainnya terjadi tahun 1998 di Vienna, Austria. Natascha Kampusch yang berusia 10 tahun diculik oleh seorang bernama Wolfgang Priklopil selama 8 tahun, dan disekap sebuah kamar di ruang bawah tanah rumahnya. Selama 8 tahun penyekapan tersebut, Natascha mengalami berbagai perlakuan kekerasan, Priklopil bahkan mengancam akan membunuhnya jika Natascha berusaha untuk kabur. Meski dalam satu kesempatan, Priklopil mengizinkan korbannya bermain di dapur rumah utama dan menyuruh Natascha untuk membersihkan rumah serta memasak makanan untuknya.

Tetapi di tahun 2006, Wolfgang Priklopil memutuskan untuk bunuh diri dengan cara melompat ke arah kereta yang sedang melaju. Natascha yang kala itu berusia 18 tahun lantas menangis dan menyatakan simpati yang sebesar-besarnya kepada Priklopil. Bahkan setelah diselamatkan oleh polisi, Natascha masih merasa kasihan dengan nasib yang diterima oleh penculiknya itu, dimana pada satu interview, ia mengatakan bahwa Priklopil merupakan temannya selama 8 tahun ini.

5. Romantisme Stockholm Syndrome



Stockholm Syndrome merupakan salah satu bentuk dari penyalahgunaan relasi yang tidak sehat. Dalam kasus-kasus penculikan, para pelaku atau penyandera merasa mampu untuk melakukan apa saja seperti memukul atau mengancam korban agar ia tidak kabur. Di lain sisi, korban penculikan yang merasa nyawanya terancam tidak memiliki pilihan lain selain menuruti dan menerima berbagai perlakuan kasar dari sang penculik. Bentuk interaksi yang tidak sehat seperti ini tidak hanya terjadi antara penculik dan korbannya, tetapi juga dapat berada di ranah romantic relationship.

Penyebab sindrom ini bisa muncul pada hubungan romantisme sama seperti yang terjadi antara penculik dan korbannya. Dalam hubungan romantisme, ditandai dengan adanya perlakuan kasar yang mengintimidasi atau ancaman yang bersifat baik fisik maupun psikologis yang dilakukan satu pihak terhadap pasangannya. Dengan mengancam bahwa sang pasangan tidak akan mampu menemukan orang yang lebih baik dari dirinya, atau mengancam bahwa ia akan menyakiti orang-orang yang memiliki hubungan dengan pasangannya jika sang pasangan meninggalkan dirinya.

Satu kebaikan kecil yang dilakukan dalam hubungan, pasca periode kekerasan, akan diinterpretasikan oleh pasangannya sebagai salah satu bentuk "kelembutan" dari pihak abuserini. Meski tak jarang hal tersebut memang dilakukan agar sang pasangan tidak pergi meninggalkannya. Abuser atau pihak yang sering melakukan kekerasan ini akan bercerita mengenai masa lalunya yang penuh masalah ataupun keluh kesahnya. Di satu sisi, sang pasangan yang selama ini terus menerus diperlakukan kasar tidak akan tega untuk meninggalkan sang abuser karena ia bersimpati serta merasa bahwa abuser membutuhkan pasangannya untuk dapat melewati segala masalah yang tengah ia hadapi.

Hal tersebut berefek kepada sang pasangan yang mentoleransi perilaku kasar dalam hubungan percintaan mereka. Ini membuat sang pasangan mencoba melihat dunia dari sudut pandang sang abuser dan menyadari bahwa si abuser merupakan seseorang yang fragile dari dalam. Mereka kemudian mulai memperbaiki bentuk-bentuk interaksi yang dianggap akan membuat sang abuser marah. Contohnya jika interaksi sang pasangan dengan keluarganya membuat sang abuser merasa marah dan diabaikan, maka sang pasangan akan mengurangi intensitas atau bahkan menghilangkan kebiasaan tersebut.

Sama seperti dalam psikologi, Stockholm Syndrome ini merupakan hal yang jarang dalam sebuah hubungan percintaan. Sindrom ini menciptakan hubungan yang tidak sehat antara keduanya. Ini menjadi alasan mengapa korban atau sang pasangan terus mendukung abuserbahkan setelah hubungan berakhir. Mereka terus melihat “sisi baik” dari sang abuser dan muncul simpati kepada seseorang yang melakukan kekerasan secara fisik dan psikis kepada mereka.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.